Semarang, Idola 92.6 FM – Perubahan terbatas UUD 1945, hanya akan terkait pada penerapan sistem perencanan pembangunan nasional dengan menerapkan GBHN. Namun demikian, pembahasan itu diserahkan kepada MPR periode 2019-2024.
Ketua MPR Zulkifli Hasan mengatakan jika sebelumnya amendemen bisa sekaligus dengan berbagai macam, maka dengan amandemen terbatas yang dibahas adalah GBHN. Sehingga, tidak ada pembahasan lainnya.
Zulkifli menjelaskan, pembahasan amendemen terbatas tidak terkait pasal yang ada di dalam UUD 1945. Jika mengubah pasal-pasal dalam UUD 1945, maka harus memulai proses amandemen dari awal.
Menurutnya, MPR telah sepakat melakukan perubahan terbatas terhadap UUD 1945 terkait penerapan GBHN. Hanya saja, pembahasannya baru bisa dilakukan pada MPR periode 2019-2024.
“Kita diskusi ada yang mengatakan perlu amandemen, perlu kembali. Tapi yang baru disetujui itu satu, kita perlu punya haluan negara. Maka namanya amendemen terbatas. Tapi baru bahannya, bahannya saja kita nanti akan serahkan kepada MPR yang baru. Kita serahkan, terserah MPR yang baru nanti. Karena pada akhirnya, keputusan politik. Karena MPR itu bukan pimpinan yang menentukan. Yang menentukan anggota 3/4. Kalau setuju baru bisa dibahas, kalau belum setuju ya tidak bisa,” kata Zuklifli di Semarang.
Lebih lanjut Zulkifli menjelaskan, MPR periode pimpinannya sekarang telah menyiapkan kajian dan rekomendasi terkait. Bahan tersebut akan difinalkan pada rapat akhir Agustus 2019, dan disahkan pada rapat paripurna terakhir periode 2014-2019.
“Kalau sudah disepakati pada 27 September 2019, kita akan rapat paripurna terakhir MPR masa sidang akhir jabatan. Nantinya, itu akan diputuskan dalam rapat paripurna MPR menjadi bahan,” pungkasnya.
MPR Sepakat Ibukota Pindah ke Kalimantan
Rencana pemindahan ibukota dari Jakarta ke Kalimantan sudah mengerucut, dan pemerintah pusat juga mulai mengarah pada salah satu provinsi di Kalimantan. Ketua MPR Zulkifli Hasan juga tidak memermasalahkan adanya pemindahan ibukota ke Kalimantan.
Ketua MPR Zulkifli Hasan mengatakan jika melihat ke sejumlah negara di dunia, sudah cukup banyak contoh yang bisa dijadikan rujukan. Bahkan, Brazil tercatat lima kali memindahkan ibukota negaranya.
Zulkifli menjelaskan, MPR sepakat dengan pemindahan ibukota asal tujuannya adalah pemerataan. Sehingga, bisa saja pemerintah Indonesia di masa mendatang akan memindahkan kembali ibukota jika memang diperlukan.
Namun demikian, lanjut Zulkifli, jika pemindahan ibukota untuk alasan efisiensi keuangan negara, maka cukup di Jakarta saja.
“Saya sederhana saja. Saya pernah baca itu Brazil pindah beberapa kali. Pindah beberapa kali ibukotanya. Ya engga papa kalau besok di Kalimantan, mungkin kalau sudah lama lagi pindah ke Jawa Timur atau ke Sumatera. Kan pemerataan, boleh saja begitu. Sekarang Kalimantan dulu. Brazil itu lima kali pindah ibukota. Gak soal, kan tujuannya pemerataan. Tapi kalau tujuannya efisiensi, ya Jakarta,” kata Zulkifli saat di Unnes, Senin (19/8).
Lebih lanjut Zulkifli menjelaskan, rencana pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke Kalimantan diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah pusat. Dirinya juga tidak memermasalahkan, ibukota negara akan dipilih di mana saja.
Sementara, Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengusulkan kita ibukota negara dipindah ke Jonggol. Hal itu merujuk pada gagasan sebelumnya, yakni di era Presiden Soekarno.
“Gagasan ini sudah ada dari zaman Bung Karno. Pak Harto sudah menggagas waktu itu, rencana pemindahan ke Bogor Timur di Jonggo dan sekitarnya. Kalau membangun dari nol, apakah mempunyai kekuatan keuangan kita untuk itu,” ujar Fadli beberapa waktu lalu.
Diketahui, rencana pemindahan ibukota dari Jakarta ke Kalimantan sudah hampir final dan tinggal menentukan lokasinya. Presiden Joko Widodo juga sudah beberapa kali melakukan peninjauan ke Kalimantan, untuk menentukan calon ibukota yang baru. (Bud)