Sejauhmana Institusi Pendidikan Menanamkan Keseimbangan Antara Kompetensi dan Karakter?

Karakter
Ikuti Kami di Google News

Semarang, Idola 92.6 FM – Baru-baru ini kita menyaksikan sebuah tayangan yang menyentak emosi dan perasaan. Sebuah diskusi di sebuah stasiun televisi yang menampilkan seorang politikus muda sekaligus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan–Arteria Dahlan dengan sesepuh bangsa, Emil Salim. Tema diskusi saat itu seputar Perrpu UU KPK.

Dalam diskusi itu, Arteria yang usianya jauh lebih muda itu menunjuk, mencecar, dan berbicara dengan nada tinggi kepada orang yang secara usia nyaris menginjak 90 tahun. Beragam reaksi bermunculan di ruang publik atas diskusi itu. Sebagai manusia awam–rasanya kita semua sepakat bahwa tindakan Arteria sangat tidak elok dan jauh dari karakter budi pekerti bangsa yang berlandaskan Pancasila.

Apa yang tergambar di televisi malam itu sejatinya merupakan cermin minor yang bangsa kita. Sadar atau tidak bangsa ini sedang mengalami degradasi budi pekerti. Kita sedang mengalami krisis kehangatan dalam berbangsa. Sebaliknya, kebencian, kekerasan, dan perseteruan seperti mendapat panggung utama. Dalam keseharian pun kita seolah demikian akrab dengan aksi saling hujat, saling umpat, dan minus rasa hormat.

Menurut Dedi Supriyadi (1998:95), arti profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian khusus, tanggungjawab, serta kesetiaan terhadap pekerjaan tersebut. Tanggungjawab di sini, muncul dari Karakter. Profesional memiliki keahlian atau pengetahuan khusus yang sesuai dengan bidang pekerjaannya.

Terdapat kaidah dan standar moral yang sangat tinggi yang berlaku bagi para profesional berdasarkan kegiatan pada kode etik profesi. Dalam pelaksanaannya, setiap profesi harus lebih mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi.

Profesi adalah cara Tuhan โ€œmemanggilโ€ agar kita menekuni bidang tertentu–melalui talenta yang diberikanNya. Yang tujuannya untuk melayani kepentingan, kebutuhan orang lain. Tetapi melalui profesi yang kita geluti, Tuhan juga menggunakannya sebagai saluran untuk membagi rizki.

Dengan kata lain, profesi bukan sekadar bermakna occupations atau sekedar sarana mencari nafkah saja. Lebih jauh dari itu, adalah dharma bakti, atau pelayanan kita bagi kehidupan.

Kualitas manusia diukur dari dua hal, yaitu kompetensi dan karakter, di mana keduanya harus berjalan beriringan dan seimbang. Kalau kompetensi menghasilkan skill dan knowledge, sementara karakter menghasilkan attitude.

Nah, dalam konteks ini, sejauhmana keseimbangan kedua hal itu dihasilkan oleh institusi pendidikan? Ketika kompetensi tuna karakter dan profesi nir budi pekertiโ€”Lalu, apa yang terjadi dengan pendidikan kita? Apa pula yang memicu krisis empati dan budi pekerti ini akhir-akhir ini?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Pengamat Pendidikan Universitas Tanjung Pura Pontianak Dr Aswandi dan Pengamat Pendidikan dan anggota tim penyusun Kurikulum 2013 Darmaningtyas. (Heri CS)

Berikut diskusinya: