Semarang, Idola 92.6 FM – Kita sepakat bahwa naiknya batas usia perkawinan bagi perempuan menjadi 19 tahun dalam revisi Undang-Undang Perkawinan menjadi era baru dan harapan baru perbaikan kualitas pembangunan manusia Indonesia. Secara kualitas harapannya ini akan memperbaiki Index Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia. Sebab, pernikahan pada dasarnya bukan sekadar personal usia, melainkan juga kesiapan fisik, psikologis, kematangan emosi, dan ekonomi.
Sebelumnya, pada pekan lalu pemerintah dan DPR menyetujui revisi Pasal 7 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Batas usia menikah bagi perempuan dan laki-laki kini sama, yaitu menjadi 19 tahun. Sebelumnya, batas usia pernikahan bagi perempuan adalah 16 tahun.
Namun, tak bisa dipungkiri, realitas kultur sebagian besar masyarakat kita, bagi orangtua—akan segera menikahkan anaknya jika tak kuliah atau sekolah. Sebab, jika tak menikah—dikhawatirkan akan berdampak tak baik bagi si anak.
Lantas, bagaimana revisi UU Perkawinan melihat realitas masyarakat di daerah? Upaya apa yang mesti dilakukan untuk mengiringi kebijakan ini agar revisi UU ini benar-benar menjadi era baru dan harapan baru bagi peningkatan kualitas pembangunan manusia Indonesia?
Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni Rani Hastari (Gender and Inclusion Specialist, Yayasan Plan International Indonesia) dan Retno Listyarti (Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)). (Heri CS)
Berikut diskusinya:
Listen to 2019-09-24 Topik Idola – Rani Hastari byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2019-09-24 Topik Idola – Rani Hastari byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2019-09-24 Topik Idola – Retno Listyarti byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2019-09-24 Topik Idola – Retno Listyarti byRadio Idola Semarang on hearthis.at