Semarang, Idola 92.6 FM – Jelang perhelatan pilpres 2019 berbagai isu dilontarkan kepada pemerintah termasuk masalah bertambahnya utang Negara.Selama masa kampanye pemilihan presiden, calon Presiden Prabowo Subianto dan tim sukses gencar melontarkan tudingan bahwa utang pemerintah saat ini telah berada dan berpotensi menjerumuskan Indonesia menjadi negara miskin serta bangkrut pada 2030.
Baru-baru ini, Prabowo juga menuding Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai “Menteri Pencetak Utang”. Sebelumnya, mereka juga mengecap Presiden Jokowi sebagai raja utang karena dalam 4 tahun memimpin Negara, utang pemerintah meningkat drastic.
Menurut Andreas Lako, Guru Besar Akuntansi Unika Soegijapranata dalam opininya di harian Kompas (19/02/2019), dari hasil studinya, tudingan-tudingan negatif perihal utang itu mengandung salah kaprah yang serius. Sebab untuk mengategorikan dan menyimpulkan utang dan keuangan negara berada dalam kondisi sehat atau sedang sakit serius (financial distress) ada 3 tolok ukur utama yang mesti digunakan, antara lain: besaran rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) yang dihasilkan negara dan rasio deficit APBN.
Sementara itu, pada suatu kesempatan, Menko Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan, lonjakan hutang pemerintah yang pada posisi akhir mencapai Rp4 ribuan triliun digunakan untuk kegiatan produktif. Utang tersebut digunakan pemerintah untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur yang selama ini tak bisa didanai dari anggaran negara.
Menurut Darmin, posisi utang Indonesia saat ini masih dibatas kewajaran jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Rasio hutang saat ini masih berada pada level 29 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau berada jauh di bawah batas yang diatur dalam UU Keuangan negara yakni 60 persen dari PDB.
Lantas, pertanyaannya, masihkah utang pemerintah dalam batas aman atau sudah melewati batas kewajaran sehingga kerap dipolitisasi jelang Pemilu 2019? Terlepas dari politisasi, tingginya nilai utang negara, sudahkah mampu member dampak produktif bagi daya ungkit perekonomian kita?
Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Andreas Lako (Guru Besar Akuntansi Unika Soegijapranata) dan Eko Listiyanto (Wakil Direktur Institute for development of Economics and Finance (INDEF)). (Heri CS)
Berikut diskusinya:
Listen to 2019-02-21 Topik Idola – Prof. Andreas Lako byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2019-02-21 Topik Idola – Prof. Andreas Lako byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2019-02-21 Topik Idola – Eko Listiyanto byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2019-02-21 Topik Idola – Eko Listiyanto byRadio Idola Semarang on hearthis.at