Mencari Jalan Keluar Masih Banyaknya Undang-undang Penghambat Investasi dan Menyebabkan Ketidakpastian Berbisnis

Ikuti Kami di Google News

Semarang, Idola 92.6 FM – Konsep “Indonesia Incorporated” dalam beberapa tahun ini terus didengungkan Namun, upaya itu bukan perkara mudah untuk mewujudkannya. Salah satunya mesti ditopang dengan undang-undang yang ramah pada investasi.

Foreign Direct Investment (FDI) atau investasi langsung luar negeri adalah salah satu ciri penting dari sistem ekonomi yang kian mengglobal. Ia bermula saat sebuah perusahaan dari satu negara menanamkan modalnya dalam jangka panjang ke sebuah perusahaan di negara lain. Namun, sayangnya terkait upaya memikat investor ini, kita masih memiliki hambatan institusi dan regulasi. Hal itu menyebabkan ketidakpastian berbisnis.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, sejumlah undang-undang terkait dengan investasi diproduksi pada tahun 1980 hingga 1990.Sebagian bahkan sudah ada sejak zaman kolonial dan belum diperbarui. Ketentuannya dinilai tidak relevan dengan kondisi nasional dan global sekarang ini. Sejauh ini teridentifikasi 70 undang-undang yang dinilai menghambat investasi. Regulasi yang rumit dan berbelit menjadi alasan utama investor tidak memilih berinvestasi di Indonesia.

Berdasarkan riset Bank Dunia pada Juni-Agustus 2019, sebanyak 33 perusahaan merelokasi pabrik dan ekspansi ke luar China. Namun, dari jumlah tersebut, tidak satu pun yang ke Indonesia. Sebanyak 23 perusahaan memilih Vietnam, sementara 10 perusahaan lainnya memilih ke Kamboja, India, Malaysia, Meksiko, Serbia, dan Thailand.

Menurut Sri Mulyani, peraturan yang akan direvisi antara lain UU tentang Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), serta ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP). Ketiganya direvisi pada awal 2000-an dan dinilai tidak relevan lagi.

Lantas, sedikitnya 70 undang-undang dinilai menghambat investasi dan menyebabkan ketidakpastian berbisnis—Bagaimana jalan keluarnya? Bagaimana mestinya pemerintah menyelesaian problem ini?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Rachmat Hidayat (Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI)) dan Agustinus Prasetyantoko (ekonom Unika Atma Jaya). (Heri CS)

Berikut diskusinya:

Artikel sebelumnyaSemarang Sekarang, Shifting Value Social Culture Menuju Metropolitan
Artikel selanjutnyaKetika Masyarakat Kian Permisif pada Praktik Korupsi di Ruang Publik, Apa yang Terjadi?