Melihat Barisan Koalisi di DPR dan Komposisi Kabinet Indonesia Maju, Masih Berjalankah Checks and Balances dalam Sistem Demokrasi Kita?

Ikuti Kami di Google News

Semarang, Idola 92.6 FM – Dalam tataran negara demokrasi yang menganut sistem presidensial, tak ada istilah koalisi ataupun oposisi. Sehingga, presiden memengang peran lebih dalam menjalankan tugas pemerintahannya. Untuk menjaga keberimbangan itu maka dibutuhkan peran kontrol yang berada di tangan DPR.

Kita sepakat bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan checks and balances. Sebab, jika partai koalisi pendukung pemerintah terlalu besar akan membuat kekuasaan cenderung tak terkontrol. Kita mengingat ungkapan Lord Acton– “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak menghasilkan korup yang mutlak.

“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”

– Lord Acton

Sejumlah menteri dari perwakilan partai politik di periode kedua pemerintahan Joko Widodo semakin mengukuhkan posisi partai tersebut sebagai koalisi pemerintah. Partai koalisi Jokowi menguasai DPR dengan menempati 427 kursi parlemen, sedangkan partai oposisi hanya memiliki 148 kursi.

Maka, kita pun bertanya, ketika koalisi begitu gemuk. Siapakah yang akan menjalankan fungsi check and balances? Sebab, di sisi lain, kita pun melihat bahwa sebagian anggota DPR merupakan barisan koalisi pendukung pemerintah. Artinya, loyalitas mereka justru kepada partai bukan pada rakyat yang mereka wakili namun loyal pada instruksi partai—apalagi kini koalisi pemerintah bertambah setelah Partai Gerindra turut bergabung. Dalam situasi demikian—ada kekhawatiran, negara kita akan masuk dalam sistem totalitarianisme.

Totalitarianisme merupakan pemikiran politik yang melihat bahwa eksistensi manusia secara orang perorang tidaklah penting. Sebaliknya, tiap individu menjalankan perannya untuk mendukung tercapainya kepentingan bersama. Untuk itu, maka tuntunan utama adalah ideologi negara atau gagasan lain.

Totalitarianisme

Jerman di bawah partai Nazi dan Hitler merupakan contoh yang sering diungkapkan untuk bentuk pemerintahan yang merupakan perwujudan pemikiran politik ini. Sebutan totaliter atau menyeluruh diberikan karena seluruh aspek kehidupan tiap individu harus sesuai dengan garis atau aturan negara, hal ini diperlukan untuk tercapainya tujuan negara, tujuan bersama.

Maka, pertanyaan kita, melihat komposisi barisan koalisi di DPR dan mencermati kabinet Indonesia Maju–masih berjalankah checks and balances dalam Sistem Demokrasi Kita? Jika loyalitas DPR justru pada partai dan bukan pada rakyat—apa eksesnya bagi demokrasi kita—di tengah begitu gemuknya koalisi pemerintah? Jika tidak ada lagi yang menjalankan fungsi kontrol pada pemerintah–maka siapa yang akan memegang peranan itu?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni Prof Siti Zuhro (Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik LIPI) dan Wawan Mas’udi, Ph.D (pengamat politik UGM Yogyakarta). (Heri CS)

Berikut diskusinya:

Artikel sebelumnyaDinporapar Inginkan Wisatawan Lebih Lama Tinggal di Jateng
Artikel selanjutnyaRefleksi 91 Tahun Sumpah Pemuda, Bagaimana Peran Anak Muda di Era Digital dan Revolusi Industri 4.0?