Ketika Masyarakat Kian Permisif pada Praktik Korupsi di Ruang Publik, Apa yang Terjadi?

Ikuti Kami di Google News

Semarang, Idola 92.6 FM – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia di 2019 sebesar 3,70 pada skala 0 sampai 5. Angka itu lebih baik dari catatan di tahun sebelumnya sebesar 3,66.

Kepala BPS Suhariyanto menyatakan, semakin tinggi IPAK ini semakin bagus dan kita berharap angka 3,6 sampai 5. IPAK dikeluarkan BPS satu tahun sekali. Nilai indeks semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa semangat anti korupsi di masyarakat semakin tinggi. Sebaliknya, jika semakin mendekati 0 maka semangat anti korupsinya semakin rendah.

IPAK ini disusun berdasarkan dua dimensi yakni dimensi persepsi dan dimensi pengalaman. Di tahun ini indeks persepsi turun 0,06 poin dari 2018 sebesar 3,86 menjadi 3,80. Sedangkan dimensi pengalaman naik 0,08 poin dari 3,57 di tahun lalu menjadi 3,65.

Menariknya meskipun IPAK membaik, di tahun ini masyarakat semakin permisif terkait korupsi di lingkup publik. Hal itu ditunjukkan dengan meningkatnya persentase masyarakat yang menganggap wajar beberapa sikap yang dirasakan sebagai tindakan korupsi.

Menariknya lagi tahun ini peningkatan permisif yang paling besar terjadi pada variabel memberikan uang atau barang dalam proses penerimaan menjadi pegawai negeri sipil (PNS) atau pun swasta. Nilainya naik dari 10,62% di 2018 menjadi 29,94%.

Terjadi juga peningkatan permisif dalam memberi uang atau barang kepada polisi untuk mempercepat urus SIM, STNK, SKCK dll dari 24,52% jadi 26,88%. Begitu juga untuk membagikan uang atau barang ke calon pemilih pada Pilkades, Pilkada dan Pemilu dari 19,08% jadi 21,34%.

BPS sendiri melakukan survei perilaku anti korupsi 2019 dilakukan terhadap 10 ribu rumah tangga. Namun ada 48 rumah tangga yang tidak mengisi survei dengan berbagai alasan, sehingga survei dilakukan terhadap 9.952 rumah tangga dengan skala nasional.

Lantas, ketika masyarakat kian permisif pada praktik korupsi di ruang publik—apa yang terjadi? Di sisi lain, kini tengah dibahas revisi UU KPK yang dinilai akan melemahkan KPK. Apa artinya ini, bagi proses demokratisasi kita? Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang mewawancara Peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI Prof. Syamsuddin Haris. (Heri CS)

Berikut wawancaranya:

Artikel sebelumnyaMencari Jalan Keluar Masih Banyaknya Undang-undang Penghambat Investasi dan Menyebabkan Ketidakpastian Berbisnis
Artikel selanjutnyaPemprov Jateng Bina Kepala Sekolah Yang Terindikasi Radikalisme