Benarkah Demokrasi Kita Berada dalam Jerat Kleptokrasi?

Semarang, Idola 92.6 FM – Kita bersyukur menjadi warga negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Namun di sisi lain kita mempertanyakan pula seberapa sebenarnya kualitas demokrasi yang kita praktikkan sehar-hari. Sebab, masih tingginya korupsi yang terjadi—juga menunjukkan bahwa fondasi demokrasi kita masih lemah. Demokras kita masih cenderung prosedural ketimbang substansial.

Merujuk pada catatan Transparancy International, begitu lambannya upaya perbaikan pemberantasan korupsi. Di lingkungan Asia Pasifik, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2018 menduduki peringkat ke-14. Bahkan, kita kalah dengan negara tetangga seperti Singapura yang berada di peringkat ke-1 dengan skor 85, Australia peringkat ke-2 dengan skor 77, Brunei Darussalam peringkat ke-6 dengan skor 63, dan Malaysia peringkat ke-9.

Dalam Opininya di harian Kompas, Jumat (30/08/2019), Batara M Simatupang menilai, dengan angka skor 44 dari maksimum 100 (skala 0-100) di mana skor 0 paling koruptif dan skor 100 paling tidak koruptif dapat diartikan bahwa Indonesia, masih terjebak dalam pusaran kleptokrasi yang parah. Hal ini menjadi antithesis di mana suatu tatanan negara yang berlandaskan negara demokrasi seyogianya bisa mencapai skor IPK mendekati skor 100 tetapi justru Indonesia terjebak dalam kubangan kleptokrasi dengan IPK Indonesia berskor 38.

Dalam perspektif etymology dictionary, kleptokrasi adalah bentuk korupsi politik dan pemerintahan—di mana pemerintah ada untuk meningkatkan kekayaan pribadi dan kekuatan politik pejabat dan kelas penguasa dengan mengorbankan populasi yang lebih luas—seringkali dengan kepura-puraan layanan yang jujur. Jenis korupsi pemerintah ini sering dicapai dengan penggelapan keuangan negara.

Lantas, benarkah demokrasi kita berada dalam jerat kleptokrasi? Jika memang demikian, bagaimana jalan memeranginya?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Batara M Simatupang (Lektor MM Indonesia Banking School), ketua bidang Perbankan AIMBA dan Prof Siti Zuhro (Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik LIPI). (Heri CS)

Berikut diskusinya:

Ikuti Kami di Google News
Artikel sebelumnyaPelaku Usaha Pakai Elpiji Bersubsidi, Dinperindag Jateng Serahkan Pemberian Sanksinya ke Kabupaten/kota Setempat
Artikel selanjutnyaDPR dan Pemerintah Memutuskan Memasukkan Delik Korupsi ke Dalam RKUHP, Apa Implikasinya?