Semarang, Idola 92.6 FM – Nilai tukar rupiah terhadap dollar amerika semakin melemah hingga berada di level Rp13.975 per dollar Amerika Serikat pada Senin (23/4). Ini merupakan pelemahan terbesar sejak tahun 2016 lalu. Deputi Direktur Departemen Pengelolaan Moneter BI Rahmatullah Sjamsudin mengatakan, pelemahan rupiah kali ini lebih disebabkan oleh faktor eksternal. Khususnya kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS atau Fed Fund Rate serta imbal hasil surat utang AS tenor sepuluh tahun yang hampir mendekati 3%.
Hal tersebut mendorong pembalikan modal asing dan tekanan pelemahan nilai tukar pada berbagai mata uang dunia termasuk Indonesia. Sementara itu, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Agusman menjelaskan, rupiah bukanlah satu-satunya mata uang yang mengalami pelemahan. Sejak pekan lalu, rupiah melemah 2,23% terhadap dolar Amerika Serikat. Sementara lira Turki melemah 6,54%, peso Filipina melemah 4,15%, rupee India melemah 3,38%, dan real Brasil melemah 2,81%.
Lalu, apakah ini masih dalam taraf wajar atau sudah cukup mengkhawatirkan? Apakah ini artinya pelemahan ilai tukar rupiah masih akan berlangsung dalam beberapa waktu kedepan? Bank Indonesia mencatat nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sebesar 1,5 persen sejak awal Januari sampai dengan Maret 2018. Pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat ini jauh di atas depresiasi rupiah sepanjang tahun lalu yang hanya tercatat sebesar 0,71 persen. Apa implikasinya dalam sektor industry di dalam negeri sejauh ini? Apa yang harus dilakukan pemerintah dan bank Indonesia untuk mencegah depresiasi terhadap rupiah yang semakin dalam? Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang mewawancara Akbar Susamto-Pengamat Ekonomi dari Center of Reform On Econimics (CORE) Indonesia. [Heri CS]
Berikut wawancaranya:
Listen to 2018-04-24 Topik Idola – Akbar Susamto byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2018-04-24 Topik Idola – Akbar Susamto byRadio Idola Semarang on hearthis.at