Semarang, Idola 92.6 FM – Hari ini (15/2), gelaran Pilkada Serentak 2018 memasuki tahapan kampanye bagi para calon kepala daerah. Di tengah berbagai tantangan, tak mudah menghentikan isu SARA dalam Pilkada. Dalam upaya itu, sikap-sikap kompromistis melemahkan penegakan hukum.
“Mestinya mungkin hentikan isu politisasi agama dalam pilkada namun tidak mudah. Sebab, agama itu melekat pada kita semua. Sehingga, bisa saja disalahgunakan dan dibelokkan,” kata peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI) Prof Syamsuddin Haris, saat diwawancara Radio Idola terkait tema “Mungkinkah, Kita Menghentikan Politisasi Agama dalam Pilkada?”, Kamis (15/2/2018).
Prof Haris, panggilan akrab Prof Syamsuddin Haris mengungkapkan, tantangan terbesar kita dalam upaya menghentikan isu SARA dalam pilkada adalah konsistensi dan komitmen negara dalam penegakan hukum kita. Tidak kompromistis menjadi kata kuncinya. Ia mencontohkan, panglima TNI atau Kapolri tak perlu pakai peci atau surban dan disatukan dengan pakaian dinas lapangan untuk hadapi gelombang demo.
“Biasa saja. Sikap-sikap kompromistis seperti itu justru melemahkan penegakan hukum,” terang Prof Haris.
Menurut Prof Haris, politisasi SARA bisa dicegah bergantung pada kemauan elite terutama pimpinan partai politik. Kemudian, pasangan calon peserta pilkada, dan tim sukses. Kaum elite memegang peran penting untuk menghentikan politisasi agama.
“Sebab, bagi saya, politisasi agama tidak mendidik, sebaliknya membodohi masyarakat,” ujar Prof Haris.
Dia mengemukakan, praktik beragama itu ada 2 yakni hablumminallah (hubungan manusia dengan tuhan) dan hablumminannas (hubungan manusia dengan manusia lain). Dalam kaitan duniawi, kata Prof Haris, sebetulnya tidak ada yang spesifik mengatur. Jadi, diserahkan pada manusianya. “Nah, dalam hubungan kita dengan tuhan itu beda lagi. Ada hukum-hukumnya,” tuturnya.
Prof Haris mencontohkan, dalam kehidupan politik, tidak ada satupun negara Islam di dunia yang bisa dijadikan acuan. “Di Timur Tengah, ada 20-an Negara, sistemnya berbeda semua. Tidak Tidak ada yang sama.”
Menurut dia, dalam konteks kehidupan duniawi, dalam proses memilih pemimpin salah satu pertimbangan pokok adalah adil. Bukan atas dasar kesamaan latar belakang dengan kita. Sebab, belum tentu lebih adil. “Kalau memang yang memiliki kesamaan latar belakang agama, suku dengan kita dan adil, itu lebih baik lagi. Tapi secara empiris sulit ditemukan,”katanya.
Sementara itu, Hadar Nafis Gumay Komisioner KPU periode 2012-2017 Hadar Nafis Gumay mengemukakan, isu politisasi SARA memang sudah muncul pada pemilu-pemilu sebelumnya. Namun, tak sebanyak waktu belakangan ini. “Ini dikhawatirkan akan menyebar juga di pemilihan kepala daerah atau bahkan pemilu 2019 kalau kita tidak mengelolanya dengan baik. Atau, kita cari jalan agar ini bisa dikurangi jika tak bisa dihilangkan semua,” katanya.
Menurut Hadar, yang terpenting saat ini adalah menegakkan aturan hukum. Pencegahan harus dilakukan bersama-sama sesama warga. Sebab, kita tak bisa hanya mengandalkan penyelenggara. Ia mencontohkan jika saat kampanye ada yang bawa isu terkait SARA dan hina agama lain, maka aparat penegak hukum harus menindaknya. “Sehingga, kita ada contoh, ini sesungguhnya tidak boleh dilakukan,” tandasnya. (her)