Semarang, Idola 92.6 FM – Ancaman polarisasi terjadi dipicu perbedaan yang terus dipolitisasi oleh sejumlah pihak. Hal itu mesti dipahami oleh publik agar tak mudah diceraiberaikan satu sama lain.
Demikian dikemukakan pengamat politik Undip Dr Teguh Yuwono dalam diskusi Panggung Civil Society yang digelar Radio Idola Semarang bertema “Peringatan 90 tahun Sumpah Pemuda di Tengah Ancaman Polarisasi” di Hotel Grasia Semarang, Rabu (31/10/2018). Selain Teguh, juga hadir narasumber: Dekan Fakultas Ushuludin dan Humaniora UIN Walisongo, Dr Mukhsin Jamil Mukhsin dan Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Neil Rupidara. Acara dipandu penyiar Nadia Ardiwinata.
Menurut Teguh, tantangan anak muda saat ini sebenarnya tak jauh beda dengan pemuda di era sebelum Sumpah Pemuda. Yakni, membangun kesadaran dalam berbangsa dan kecerdasan dalam melihat realitas. Pemuda di masa pergerakan nasional bisa melahirkan Sumpah Pemuda karena memiliki dua unsur, yakni kesadaran dan mereka memiliki pikiran cerdas (smart).
“Jika kedua hal itu tak dimiliki mereka, mustahil akan muncul Budi Utomo dan Sumpah Pemuda kala itu,” ujarnya di hadapan puluhan peserta yang didominasi perwakilan BEM perguruan tinggi di Kota Semarang.
Teguh menyatakan, dalam konteks berbangsa dan bernegara saat ini, kaum muda harus memiliki kesadaran dan pemikiran progresif. “Semua itu mesti didukung dengan sistem pendidikan. Jadi, kesadaran untuk belajar itu juga penting bagi anak muda di era saat ini,” tuturnya.
Negara Harus Hadir
Sementara itu, menurut Mukhsin Jamil, di era disrupsi saat ini tantangan kaum muda berbeda dengan kaum muda di era sebelum Sumpah Pemuda 1928. Ini perlu disikapi dan dipahami oleh negara agar mereka tidak terputus dari akar sejarahnya. Negara harus hadir dalam konteks memproduksi narasi kebangsaan bagi kaum muda.
Mukhsin berpendapat, sudah saatnya orang yang punya komitmen kebangsaan baik dan moral baik tidak diam. “Tapi harus rajin men-share gagasan-gagasan baik dan cerdas bertema nasionalisme melalui dunia maya yang mudah diakses anak muda,” ujarnya.
Namun, lanjut Mukhsin, cara menyampaikan juga dengan bahasa anak muda dan mudah dicerna. “Jadi, jangan kita jelaskan nasionalisme bagi anak muda dengan definisi ala kampus Oxford. “Nationalisme is blablabla, kan sulit. Namun, yang mudah saja. Misalnya seperti yang sudah dilakukan beberapa tokoh. Contohnya, nasionalisme adalah saya,” tuturnya.
Dalam momentum 90 tahun Sumpah Pemuda saat ini, menurut Mukhsin, kita menghadapi satu situasi yang menimbulkan problem polarisasi di masyarakat. Hal itu dipicu dampak politik praktis hingga masih belum baiknya tingkat literasi sebagian masyarakat kita. “Maka, usaha untuk tetap memperkuat nasionalisme sangat penting,” imbuhnya.
Saatnya Manfaatkan Virtual Nationalisme
Menurut Mukhsin, ada dua stretegi yang harus kita lakukan untuk mencegah polarisasi. Pertama, dengan memperkuat strategi pembangunan nasionalisme di dunia nyata melalui pendidikan. “Di situ pendidikan menjadi hal yang sangat penting. Juga aktivitas-aktivitas yang bisa menyelesaikan agenda-agenda kebangsaan kita. Misalnya, gerakan antikorupsi, penyelesaian kemiskinan, kebodohan dan lingkungan,” ujarnya.
Kedua, aktif membangun nasionalisme di dunia maya atau virtual nationalism. Caranya dengan mengubah mindset generasi tua sebab saat ini era disruptif. Maka, mindset disruptif juga harus kita miliki. “Jangan mudah menyalahkan anak muda karena mindset. Harus ada perubahan mindset kita terlebih dahulu untuk berpersepsi mengenai dunia maya yang diakses anak muda,” ujarnya.
Menurut Mukhsin Jamil, tantangan bangsa saat ini berbeda dengan era sebelum Indonesia merdeka. Saat ini terlihat abstrak, sehingga jika tidak diwaspadai akan jadi ancaman bagi persatuan dan kesatuan. Hari ini persoalan primordial muncul lagi dan bercampur dengan persoalan kemiskinan dan lain sebagainya. “Ini menjadi tantangan luar biasa bagi kita, belum menghadapi tantangan lainnya,” terangnya.
Tumbuhkan Sikap Kritis
Sementara itu, Neil Rupidara menyatakan, dewasa ini generasi muda telah dikuasai teknologi informasi. Sehingga arus informasi yang begitu deras bisa diperoleh dengan mudah melalui perangkat berteknologi tinggi.
“Hanya yang menjadi tantangan saat ini adalah perlu adanya sikap kritis terhadap membanjirnya informasi. Sebab informasi-informasi ini belum tentu kebenarannya,” ujarnya.
Menurut Neil, saat ini, banyak sekali generasi muda yang mudah terbawa arus informasi tidak benar, hingga tersulut emosinya. Bahkan, kaum intelektual muda juga. Untuk menumbuhkan sikap kritis, perlu ada kemauan untuk banyak membaca guna menambah pengetahuan, juga kesadaran untuk berpikir dan menahan emosi.
“Ini tantangan yang harus dilakukan, khususnya bagi generasi muda,” tandasnya. (her)