Mengakhiri Kegaduhan Taksi Online agar Tak Berlarut-larut

Semarang, Idola 92.6 FM – Era disrupsi selalu memantik pro-kontra. Hal itu pun terjadi di bidang angkutan umum berbasis aplikasi online. Angkutan umum berbasis aplikasi alias taksi online muncul sejak strategi sharing economy itu mendisrupsi industri taksi konvensional.

Hari ini-1 Februari 2018, Pemerintah mulai memberlakukan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No 108 tahun 2017 terkait taksi online. Sebelumnya, aturan yang didesain sebagai jalan tengah itu kembali memicu pro-kontra. Sebagian driver taksi online menolak karena sangat memberatkan. Sebaliknya, pelaku usaha angkutan konvensional mendesak aturan itu diberlakukan agar iklim kompetisi terjaga.

Terkait hal ini, beberapa hari lalu, para pengemudi taksi online pun melakukan aksi demo besar-besaran di Istana Negara. Hasilnya, pemerintah tetap memberlakukan aturan itu namun lebih lunak. Regulasi tetap diterapkan namun, sanksi driver taksi online yang melanggar masih berupa teguran belum dikenakan tilang.

Terkait hal ini, Pakar Manajemen dan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Prof Rhenald Kasali dalam Opininya di Jawa Pos (31/1) menulis, kegaduhan ini jangan berlarut-larut karena akan merugikan semua pihak. Driver taksi online harus mau sedikit mengalah dengan menerima jalan tengah. Sebaliknya, pemerintah harus memperbaiki layanan publik terkait dengan syarat-syarat bagi taksi online agar tidak memberatkan. Toh, saat ini market sudah terbentuk.

Lantas, bagaimana mengakhiri kegaduhan taksi online? Sudah cukupkah regulasi Permenhub N0 108 tentang Taksi Online mengatasi polemik ini? Pemerintah dalam konteks ini sebenarnya berpihak pada siapa? Upaya jalan tengah seperti apa yang mesti dilakukan?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola 92.6 FM berdiskusi dengan Sularsi (Koordinator Pengaduan dan Hukum YLKI). (Heri CS)

Berikut Perbincangannya:

Ikuti Kami di Google News
Artikel sebelumnyaWagub Jateng Jadi Plh Gubernur
Artikel selanjutnyaMenyongsong Pilkada Aman Tanpa SARA dan Politik Uang