Semarang, Idola 92.6 FM – Presiden Joko Widodo memutuskan tidak akan menandatangani hasil revisi UU MD3 yang telah disahkan DPR dalam rapat paripurna 30 hari silam. DPR kini kian kuat karena membentengi diri dengan pasal-pasal sakti di UU MD3 yang baru. Sikap politik Presiden Jokowi tak menyelesaikan persoalan ini. Sejumlah pasal yang membentengi DPR pun mulai berlaku.
Setelah 30 hari, RUU itu menjadi UU dan wajib diundang-undangkan. UU MD3 kini tinggal menunggu waktu untuk bisa mengikat. Diketahui, selain penambahan kursi pimpinan MPR, DPR, dan DPD, ada tiga pasal krusial yang sebenarnya sejak awal menuai banyak penolakan tapi seolah dianggap angin lalu. Pasal itu antara lain Pasal 73 ayat 3 dan 4 yang mengatur tentang pemanggilan paksa pada orang, kelompok, maupun badan hukum yang menghina atau merendahkan kehormatan DPR melalui kepolisian.
Kemudian Pasal 122 huruf k yang memberi kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan untuk menempuh langkah hukum jika ada pihak yang menghina atau merendahkan kehormatan DPR. Dan yang ketiga ada pada Pasal 245 yang mengatur tentang hak imunitas bagi anggota DPR yang dinilai banyak pihak berlebihan. Pemanggilan terhadap anggota DPR yang terjerat kasus pidana ke depan harus mendapat persetujuan dari presiden.
Apa sebenarnya di balik sikap presiden yang enggan menandatangani UU MD3? Ke depan UU ini akan menjadi ancaman rakyat di hadapan DPR, bagaimana civil society menghadapi situasi ini? Masihkah ada celah? Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang mewawancara Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun. [Heri CS]
Berikut wawancaranya:
Listen to 2018-03-15 Topik Idola – Refly Harun byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2018-03-15 Topik Idola – Refly Harun byRadio Idola Semarang on hearthis.at