Bagaimana Meredam Intoleransi Atas Nama Agama?

Semarang, Idola 92.6 FM – Negara menjamin kebebasan bagi tiap-tiap warga negara untuk memeluk dan beribadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Pernyataan yang juga terkandung dalam konstitusi UUD 1945 tersebut sekaligus sebagai penegasan bahwa pemerintah tidak memberikan ruang bagi para pihak intoleran di negara Indonesia.

Namun, hal itu patut dipertanyakan. Kondisi kebebasan yang diidamkan semua golongan itu masihlah belum menggembirakan. Faktanya, pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang pertengahan tahun 2018 kian meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Ironisnya, pelaku pelanggaran didominasi masyarakat akar rumput yang distimulasi oleh elit politik.

Penguatan perspektif kebinekaan dan peningkatan kapasitas petugas kepolisian semakin dibutuhkan di tengah dinamika kehidupan beragama agar fenomena itu tidak berlanjut—terutama pada Pemilu 2019 mendatang.

Berdasarkan penelitian Setara Institute for Democracy and Peace pada Januari hingga Juni 2018, setidaknya terdapat 109 peristiwa pelanggaran terhadap kebebasan dan berkeyakinan dengan 136 tindakan pelanggaran. Jumlah itu meningkat dari Januari-Juni 2017 yang hanya berjumlah 80 peristiwa pelanggaran degan 99 tindakan. Kedua penelitian tersebut diambil dari 20 provinsi di Indonesia.

Dari 109 peristiwa intoleransi terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, ada lima provinsi menduduki peringkat teratas dengan jumlah kejadian pelanggaran. Kelimanya adalah DKI Jakarta dengan 23 kasus, Jawa Barat dengan 19 kasus, Jawa Timur dengan 15 kasus, DI Yogjakarta dengan 9 kasus dan Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan 7 kasus.

Lantas, bagaimana meredam intoleransi atas nama Agama? Apa akar persoalan masih maraknya pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia? Terobosan apa yang bisa dilakukan negara dalam hal ini untuk menjamin hak-hak kebebasan beragama?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Ari Setiarsih (Peneliti Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) SETARA Institute) dan Abdul Mu’ti (Sekretaris Umum PP Muhammadiyah). [Heri CS]

Berikut diskusinya:

Ikuti Kami di Google News
Artikel sebelumnyaKemenkes: Idealnya Makan Buah Sebelum Makan Nasi
Artikel selanjutnyaDirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri Diangkat Jadi Penjabat Gubernur Jateng