Semarang, Idola 92.6 FM – Krisis tak pernah sama. Apalagi era digitalisasi sedang membawa perubahan besar. Krisis pada abad ini, kalaupun terjadi bisa jadi memiliki pola baru. Krisis keuangan dari masa ke masa semakin kompleks. Pada abad ini, dengan pemicu digitalisasi, kompleksitas meningkat. Untuk itu, paradigma baru dan penyesuaian kebijakan menjadi keniscayaan bagi para pengambil kebijakan.
Demikian salah satu pesan yang mengemuka dari seminar internasional yang digelar Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di Jakarta baru-baru ini. Acara ini merupakan bagian dari rangkaian menuju pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF)-Bank Dunia di Bali. Kepala Penasihat Komisi Regulasi Perbankan China, Andrew Sheng dalam satu sesi menyatakan, krisis keuangan Asia pada 1997 dan krisis keuangan global pada 2007 meninggalkan tiga pesan.
Pertama, setiap pemangku kepentingan harus senantiasa siap. Kedua, krisis adalah peristiwa, sedangkan restrukturisasi perbankan adalah proses yang butuh waktu. Ketiga, adalah eksekusi atau dieksekusi. Krisis keuangan global 2007 menunjukkan bahwa terjadi saling kunci dan saling tergantung antar-unit, mulai dari bank, shadow banking, pasar modal, sampai pasar real estate yang didorong oleh utang, derivatif, dan unsure politik. Belakangan kompleksitas itu meningkat bersama dengan munculnya sejumlah faktor seperti digitalisasi ekonomi, geopolitik, dan perubahan iklim.
Lalu, ke depan seberapa besar ancaman ini bagi sektor perbankan? Apa yang mesti dilakukan perbankan untuk mengantisipasi dampak buruknya? Guna menjawab pertanyaan itu, Radio Idola Semarang mewawancara Lana Soelistianingsih, Kepala Ekonom dan Riset PT Samuel Aset Manajemen. [Heri CS]
Berikut Wawancaranya:
Listen to 2018-03-02 Topik Idola – Lana Soelistianingsih byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2018-03-02 Topik Idola – Lana Soelistianingsih byRadio Idola Semarang on hearthis.at