Semarang, Idola 92.6 FM – Semenjak muncul beberapa tahun terakhir, transportasi berbasis aplikasi online tumbuh fenomenal. Masyarakat diberi layanan lebih cepat, lebih praktis, dan lebih murah. Namun, di sejumlah daerah, sistem transportasi baru ini menimbulkan gejolak dan beberapa di antaranya disertai kekerasan. Penolakan pengelola transportasi tradisional didasarkan pada sejumlah argumen bahwa persaingan yang ada tidak adil.
Menanggapi penolakan itu, pemerintah memberlakukan revisi Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 32 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Pemberlakuan permenhub ini untuk memberikan keadilan bagi semua pihak. Aturan ini akan resmi berlaku pada 1 April 2017.
Beberapa butir aturan itu antara lain, tarif angkutan tertera pada aplikasi berbasis teknologi informasi, dan ada penentuan tarif berdasarkan tarif batas atas dan bawah. Penetapan tarif itu diserahkan sepenuhnya pada Gubernur sesuai domisili perusahaan. Kemudian, penetapan kebutuhan jumlah kendaraan dilakukan oleh Gubernur sesuai domisili perusahaan dan Kepala BPTJ untuk wilayah JABODETABEK. Kemudian, apabila ketentuan sebelumnya STNK atas nama perusahaan direvisi menjadi STNK atas nama badan hokum. Selanjutnya STNK yang masih atas nama perorangan masih tetap berlaku sampai habis masa berlakunya.
Lantas, sudah cukup memadaikah aturan baru pemerintah dalam revisi Permenhub Nomor 32 tahun 2016 sebagai jalan tengah konflik antara pengelola transportasi tradisional dan online? Sudahkah pula aturan ini memberi jaminan perlindungan pada hak-hak konsumen?
Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola 92.6 FM berdiskusi dengan dua narasumber yakni: Suharto Abdul Majid (pengamat transportasi dari Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi Trisakti) dan Agus Suyatno (sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)). (Heri CS)