Semarang, 92.6 FM-Dewan Komisoner dan Ekonom Senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Prof. Dr. Bustanul Arifin mengatakan produksi padi pada 2016 mencapai 75,40 juta ton gabah, atau setara dengan 43 juta ton beras.
Menurutnya, jumlah produksi beras dalam negeri sebenarnya mampu mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat. Bahkan, bisa dikatakan Indonesia surplus beras. Karena, dari jumlah produksi 43 juta ton beras yang terserap untuk konsumsi per tahunnya hanya 31 juta ton saja.
Namun, jelas Bustanul, harga beras di Indonesia hampir dua kali lebih mahal dari harga beras internasional. Sehingga, ada indikasi jika pasokan beras domestik bermasalah dan rentan terhadap gejolak.
Dampaknya, lanjut guru besar ilmu ekonomi pertanian Universitas Lampung itu, akan berpengaruh pada ketahanan pangan dalam negeri.
Padahal, produksi beras negeri cukup melimpah dan mampu memenuhi konsumsi masyarakat. Namun, kenaikan harga eceran beras memukul kelompok masyarakat miskin karena, 23 persen pengeluarannya untuk membeli beras.
“Harga beras domestik tinggi tidak berpengaruh pada kesejahteraan petani, karena 56 persen petani Indonesia menguasai lahan seperempat hektare hingga setengah hektare. Apakah ada setting perubahan kebijakan hari ini, mungkin? Satu harga dasar yang diterjemahkan jadi HPP yang ditetapkan wajib di tas harga keseimbangan, karena melindungi petani,” katanya, kemarin.
Lebih lanjut Bustanul menjelaskan, kebijakan stabilisasi melalui penetapan harga dasar berupa Harga Pokok Pemerintah (HPP) berupa Inpres Nomor 5 Tahun 2015 untuk cadangan beras pemerintah.
Sementara, harga eceran tertinggi (HET) yang diatur melalui Permendag Nomor 57 Tahun 2017 ditujukan untuk melaksanakan kebijakan stabilisasi harga beras. HET diatur dalam beberapa zona dan berdasar kualitas beras medium dan premium. (Bud)