Budayawan: Indonesia Memiliki Modal Sosial Yang Kuat

Semarang, Idola 92.6 FM – Bangsa Indonesia memiliki modal sosial yang sangat kuat untuk menangkal berbagai isu perpecahan yang belakangan merebak. Sebab, umur bangsa ini sudah ratusan tahun dan teruji.

Budayawan Prof Agus Maladi Irianto mengatakan, persoalan konflik yang terjadi belakangan ini bukan berakar dari modal sosial. Tetapi dipicu kepentingan yang dikontruksi oleh sebagain kecil elite dan kemudian berkembang. “Isu SARA seumpama. Itu paling seksi untuk menjadi salah pemicu konflik, kemudian melebar menjadi persoalan etnik dan agama,” kata Agus saat diwawancara Radio Idola Jumat (20/1) pagi.

Salah satu hasil jajak pendapat harian Kompas (16/1) mengemukakan, ketegangan sosial akibat persaingan politik dinilai sudah pada tahap yang mengkhawatirkan di mana masyarakat ditarik ke dalam kelompok-kelompok berbasis identitas agama dan ras. Selain itu, temuan lain, ikatan sosial di lingkup keluarga dan lingkungan masyarakat cenderung masih kuat, sementara di lingkup nasional justru mengindikasikan melemah.

Menurut Agus Maladi yang juga guru besar FIB Universitas Diponegoro Semarang, kondisi yang saat ini terjadi sebenarnya bagian dari perkembangan peradaban. Gejolak yang terjadi menjadi bagian dari kebebasan yang terakomodasi dan terekspresi dengan mudah.

Agus Maladi Irianto.

“Dengan didukung media sosial yang luar biasa menjadi sarana efektif bagi para elite dan tidak ada filter lagi. Ini yang saya lihat sejak dahulu karena Indonesia tidak memiliki strategi kebudayaan. Modal sosial itu ranahnya strategi kebudayaan,” ujar Agus.

Pendiri Laboratorium Seni dan Budaya Lengkong Cilik Semarang ini mengungkapkan, fenomena aksi kekerasan yang terjadi belakangan ini bersifat sementara atau temporal. “Media sosial yang selama ini dengan konsep hiperrealitas dan simulakra sebenarnya yang paling mudah menciptakan situasi yang temporal-temporal ini,” tutur dosen yang juga sineas ini.

Menurut mantan Ketua Dewan Kesenian Semarang ini, menyikapi hal ini sangat penting. Sebab, kalau sesuatu yang temporal itu menjadi gerakan masif dikhawatirkan akan mengeliminasi modal sosial yang sudah ada. Penangkal paling mudah adalah harus ada filter.

“Rasionalitas dari modal social selama ini pasti harus terus menerus ditumbuhkembangkan. Melalui diskusi seperti ini sebagai salah bentuk untuk mensosialiasikan bahwa kita memiliki modal socialyang sudah kita miliki sejak ratusan tahun yang lalu,” tandasnya.

Berpolitik Secara Kultural

Radhar Panca Dahana.

Sementara itu, budayawan Radhar Panca Dahana menilai, masyarakat kita sejak zaman dahulu sudah terpelihara dari kemelut. Artinya, kita berhasil membina diri kita sepanjang masa itu untuk hidup bersama. “Tidak pernah ada cerita perang antarsuku besar seperti terjadi di India, Arab, China, Eropa, dan Afrika. Tidak Pernah.”

Sebab, menurut Radhar, kita sudah capai tingkatan dimana kita sudah bisa mendewasakan diri termasuk melalui konflik. Namun konflik itu hanya untuk mencapai keseimbangan yang baru. “Bukan untuk menundukkan, memusnahkan, kolonialisasi atau imperialisasi,” ujarnya.

Menurut Radhar, belakangan dalam satu abad terakhir memang muncul peradaban baru dalam cara-cara kita berpolitik, mencari kuasa, motif ekonomi, dan status sosial yang sama sekali tidak berdasar pada cara yang sudah terpelihara ribuan tahun lalu. Ini semua dipengaruhi adab yang berbeda.

“Ada kontinental, adab luar yang sangat tidak memperhatikan hubungan kemanusiaan, hubungan antarmanusia dengan alam, manusia dengan tuhan. Itu terjadi satu abad terakhir dan mengeras belakangan ini. Itu pun terjadi hanya pada elite tertentu. Itu pun bagian tertentu,” tandasnya.

Radhar berpendapat, menangkal berbagai ancaman ideologi pada bangsa belakangan ini perlu ditamengi dengan berpolitik secara cultural. Baru-baru ini, budayawan Radhar Panca Dahana mengajak pekerja seni untuk menampilkan teatrikal puisi karyanya bertajuk “Manusia Istana”. Menurut Radhar, ini merupakan salah satu upaya untuk berpolitik secara cultural. “Untuk melihat diri sendiri, permasalahan bangsa secara gamblang dan bagaimana solusinya,” katanya.

Menurut Radhar, berpolitik secara kultural merupakan bagian dari diskursus. Diskursus tidak hanya melalui cara intelektual namun bisa melalui bahasa ekspresional lainnya. Dia mencontohkan seperti yang dilakukan karya Slank melalui karyanya “Kabut Sebuah Negeri” dan Tonny Q dalam Indonesia Jalanan. (Heri CS)

Ikuti Kami di Google News