Semarang, Idola 92.6 FM – Mendengar kabar kabar tiap hari, seolah kita dipertontonkan dengan siklus yang bagai mata rantai tiada putus. Tak pernah ada ujung. Yang ada semua seolah berputar dalam sebuah muara yang sama. Kemunculan peristiwa dan fenomena ke permukaan bak lotre yang dilempar. Hanya menunggu waktu dan giliran. Mulai dari terkuaknya sindikat vaksin palsu setelah 13 tahun, mafia kasus di tubuh dunia peradilan kita, ataupun kasus kekerasan pada anak, hingga terkuaknya berbagai macam barang yang palsu mulai dari uang hingga ijazah palsu.
Pengungkapan 14 nama rumah sakit, 6 bidan, dan 2 klinik penerima vaksin palsu oleh Menteri Kesehatan Nila F Moeloek beberapa hari lalu menghebohkan kita semua. Terungkapnya praktik pemalsuan vaksin ini menimbulkan gugatan mengenai tanggung jawab pemerintah. Di mana sesungguhnya peran dan keberpihakan Negara selama ini? 13 tahun bukan waktu yang singkat. Lamanya praktik pemalsuan mengindikasikan lemahnya kelembagaan pengawasan. Selain itu, sebagian orang di sekeliling kita ternyata masih banyak yang sakit mentalnya, hanya mementingkan kepentingan sendiri dan mengorbankan kepentingan masyarakat luas. Dalam konteks vaksin palsu pelaku dan pengedar, hanya untuk kepentingan ekonomi dan perut, seolah mempertaruhkan generasi anak-anak bangsa. Seperti juga korupsi yang masih menggurita. Ataupun kekerasan pada perempuan dan anak yang masih menjadi-jadi.
Dari fenomena laten semacam ini kita seolah bertanya-tanya?. Apa sejatinya akar penyakit dari ini semua?. Di mana sebenarnya muara sungai problem bangsa yang tak berkesudahan ini?. Benarkah pendidikan kita sejauh ini masih belum bisa memanusiakan manusia.
Nah, menyoroti fenomena sosial hingga kriminalitas yang menyita perhatian publik dan terus berulang, Radio Idola berdiskusi dengan beberapa narasumber diantaranya dengan Jakob Sumardjo, budayawan, guru besar sekolah tinggi seni indonesia (STSI) Bandung, Saifur Rohman, ahli filsafat dan budayawan dari Universitas Negeri Jakarta, dan Pemerhati dunia pendidikan, Tukiman Taruno.
Panelis kami sepakat, Pendidikan nilai harus ditanamkan dalam dunai pendidikan kita, tapi yang terjadi adalah pendidikan kita makin menjauhkan anak anak kita dari pendikan nilai nilai. Hal ini disampaikan oleh Tukiman Taruno, pemerhati dunia pendidikan.
Hampir senada, disampaikan oleh Jakob Sumardjo, budayawan, guru besar sekolah tinggi seni indonesia (STSI) Bandung. menurutnya, pendidikan kita selama ini hanya mengutamakan pengetahuan intelektual saja, padahal manusia bukan hanya pikiran, tapi juga hati nurani dan perbuatan. Sialnya, pengetahuan yang kita ajarkan, itupun hanya yang bersifat komsumtif saja, anak didik di tuntut tahu banyak hal tapi tidak ber hubungan dengan masalah yang kita hadapi sehari hari, karena pengetahuan itu bersumber dari bangsa lain, bukan dari pengalaman bangsa kita sendiri.
Sementara itu, Saifur Rohman, ahli filsafat dan budayawan dari Universitas Negeri Jakarta, mencatat, pendidikan kita tidak mengajarkan soal keyakinan atau ideology, tapi persepsi. Pendidikan kita telah mengalami disorientasi nilai nilai.
Lebih lengkap, anda bisa mendengarkan diskusi Radio Idola dengan para narasumber yang telah di siarkan di acara Panggung Civil Sociaty, pada pukul 07.00 WIB tadi pagi. (Doni Asyhar)