Semarang, Idola 92.6 FM – Sejak tahun 2012 sampai sekarang, Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit keseimbangan primer. Penyebabnya adalah, target penerimaan negara yang kian tahun semakin susah dicapai.
Menurut Menkeu Sri Mulyani sampai saat ini defisit keseimbangan primer mencapai Rp 111,4 triliun. Defisit tersebut menunjukkan, selama ini pinjaman yang dihimpun pemerintah tidak produktif karena pinjaman tidak digunakan untuk investasi tapi hanya habis untuk membayar utang.
Semakin besar nilainya, menunjukkan kemampuan anggaran menutup utang, semakin lemah. Selama ini pinjaman yang dihimpun pemerintah tidak produktif, karena pinjaman tidak digunakan untuk investasi tapi hanya habis untuk bayar utang.
Secara logis, untuk mengatasi defisit keseimbangan primer, ada dua kunci, yaitu yang Pertama, menurunkan belanja. Sedangkan yang Kedua, menaikkan penerimaan. Akan tetapi, jika belanja yang diturunkan, maka ditakutkan malah dapat mengganggu pertumbuhan. Karena belanja dari pemerintah sangat dibutuhkan guna mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sehingga jalan satu-satunya yang masih bisa ditempuh adalah dengan menggenjot penerimaan Negara. Lalu, langkah terobosan apa saja yang akan dilakukan oleh pemerintah untuk menggenjot penerimaan negara?
Apakah beban birokrasi yang terlampau gemuk dan postur Anggaran yang cenderung kian membengkak harus tetap dibiarkan, tanpa perlu ditinjau ulang? Sampai batas mana, postur yang ideal, bagi perekonomian Indonesia?
IGGI Konsisten Gerojok Indonesia Dengan Utang
Pengamat Ekonomi Kwik Kian Gie dalam Panggung Civil Society Radio Idola, Kamis (25/8) mengatakan, untuk mengubah postur itu sebenarnya mudah karena persoalan teknis. Akan tetapi, faktor yang terpenting dalam menyusun APBN yang tidak realistis adalah mental.
“Mental yang tidak mau paham bahwa anggaran pembangunan tidak bisa ditentukan seenaknya sendiri, terus kemudian kalau tidak ada uang maka harus utang lalu kalau tidak ada utang bingung kemudian menekan tax amnesty,” katanya.
Menurut Kwik Kian Gie yang pernah menjabat Menko Ekuin di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terkait dengan mengapa dari dahulu hingga sekarang negara defisit anggaran perlu melihat sejarah. Kwik mengungkapkan, setelah Presiden RI pertama Bung karno jatuh pada bulan November 1967 ada konferensi di Jenewa yang disponsori oleh Time Live Corporation.
“Didalam situ dibentuk perkumpulan Negara kaya yang bernama IGGI (Intergovernmental Group on Indonesia), yang pekerjaannya menggerojok utang Indonesia secara konsisten selama 32 tahun. Mulai saat itu semua pendapatan Negara harus dihabiskan untuk anggaran rutin untuk membangun. Nah semua anggaran itu dibiayai oleh utangan IGGI ditambah Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan IMF. Itu semua kombinasi yang dibangun dengan maksud untuk mengendalikan,” ungkapnya.
Menurut Kwik, karena pengeluaran total rutin dan pembangunan lebih besar daripada pemasukan maka defisit. Sehingga defisit ini yang kemudia diberi utang oleh IGGI. Tetapi supaya masyarajat Indonesia tidak tahu karena dikelabuhi, maka di dalam APBN tidak dicantumkan utang tetapi pemasukan untuk pembangunan.
“Itu terus menerus mulai 1980 setiap APBN keluar, ada apa itu? Saya menulis tentang hal itu tetapi dibiarkan. Nah sekarang mental yang saat ini saya katakana saat menjadi menteri itu harus disebut utang. Saya berpidato ke IGGi itu harus disebut utang,” umbarnya.
Sementara menanggapi langkah Menteri Sri Mulyani yang telah memangkas APBN, Kwik Kian Gie menuturkan, hal itu efektif karena memang harus dilakukan dikala defisit anggaran primer APBN. Sebab, jika tidak dipangkas akan terus membengkak defisitnya. Terkait dengan target pertumbuhan ekonomi yang meleset karena memang tidak dikalkulasi dengan tepat.
Defisit keseimbangan primer APBN, menurut Kwik yang terus terjadi setiap tahun mengindikasikan pemerintah terjebak dalam gali lubang tutup lubang. Ini tidak lagi ancaman tetapi sudah menjadi kenyataan saat ini.
“Sekarang sudah menjadi kenyataan. Dengan banyak utang bahaya sekali. Seharusnya semua infrastruktur harus dimaksimalkan untuk mencari laba,” ujar dia.
Menteri Hobi Utang
Sementara Drajad Wibowo, Ekonom Suistainable Development Indonesia menyatakan sejak tahun 2012 negara memang sudah mengalami defisit keseimbangan primer APBN. Sejak zaman Pak Harto dana fiskal dikatakan memang sudah defisit.
“Jadi artinya selama ini kita besar pasak daripada tiang. Dan sepertinya pemerintah suka mempekerjakan ekonom yang selalu hutang. Repotnya, ekonom yang tidak suka hutang tidak (dipakai, red) oleh pemerintah,” gamblangnya.
Menurut Drajad, memang ada manfaat jika berhutang namun negara harus bisa mengendalikan hutang tersebut agar tidak terjadi out-come yang tinggi daripada in-come. Selain itu, jangan sampai karena hutang kita kemudian didikte negara pendonor atau pemberi utang.
Drajad mengungkapkan, untuk mengatasi supaya negara tidak terjebak defisit keseimbangan primer maka kalau punya hutang harus bekerja lebih keras agar punya penghasilan lebih besar sehingga tidak lebih besar pasak daripada tiang. Selain itu, belanja tidak melebihi boleh penghasilan sehingga tepatlah langkah yang diambil Menteri Keuangan Sri Mulyani yang memangkas pengeluaran di beberapa kementerian.
“Negara dari zaman Pak Harto sampai sekarang selalu dibiayai dari hutang, bahkan kita berhutang untuk menutup bunga hutang yang lainnya tok,”
Defisit keseimbangan primer APBN yang terus terjadi setiap tahun mengindikasikan pemerintah sudah terjebak dalam gali lubang tutup lubang. Ini tidak lagi menjadi ancaman tetapi sudah menjadi kenyataan.
Untuk mengatasi hal itu, supaya kita tidak terjebak defisit keseimbangan primer terus menerus pemerintah harus bekerja lebih keras agar mempunyai penghasilan lebih besar sehingga tidak lebih besar pasak daripada tiang.Selain itu, belanja Negara juga tidak melebihi penghasilan.
Hal ini menjadi tantangan Presiden Jokowi ke depan dan tentunya perlu mendapat dukungan dari pihak swasta dan masyarakat agar tak terus terjebak dalam lubang negara di cengkeraman defisit anggaran dan utang. (Heri CS)