Semarang, Idola 92.6 FM – Ini yang kita lihat di layar kaca saat koruptor menjalani pemeriksaan, atau bahkan saat mereka ada di balik jeruji penjara, mereka menebar senyum dengan lagak seolah tanpa salah. Dari perangai itu, kita bertanya, apa arti senyum itu?. Benarkah mereka tetap bahagia, sebab tahu bahwa hukuman yang akan didapat tak berat, dan bisa segera bebas dengan sisa harta korupsi yang masih menumpuk. Atau, apakah sebenarnya mereka tidak bahagia, karena senyum itu adalah senyum palsu belaka untuk menutupi stres tingkat tinggi. Hanya mereka yang tahu. Namun, bagaimana jika pertanyaan itu diubah, bukan dilihat dari perspektif pelaku, tetapi dari perspektif korban?. Apakah ulah para koruptor membuat orang-orang Indonesia menjadi tidak bahagia?. Laporan Kebahagiaan Dunia (World Happiness Report) tahun 2016 menempatkan Indonesia sebagai Negara yang tingkat kebahagiaannya sedang-sedang saja. Indonesia menduduki peringkat ke-79 dari 157 negara. Benarkah tingkat korupsi sebuah negara berhubungan dengan tingkat kebahagiaan warganya?.
Febri Hendri, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam wawancara dengan Radio Idola dalam acara Panggung Civil Society , Senin (9 Mei) menyatakan, tingkat korupsi di Indonesia memang cukup parah, karena korupsi terjadi tidak hanya di tataran elit namun juga sudah marak terjadi di tingkat bawah. Bagaimana dampaknya?. Menurut febri, dampak korupsi memang sistemik, baik bersifat langsung maupun tidak langsung bagi masyarakat. Untuk memutus mata rantai ketidakbahagiaan kolektif yang disebabkan perilaku korupsi, kata febri, harus dimulai dari masing masing individu anak bangsa, dengan membangun sikap positif, terutama dengan gerakan melawan korupsi.
Sementara itu, Budayawan Jakob Sumardjo menilai, dari perspektif kebudayaan, korupsi seolah sudah menjadi budaya di kalangan pejabat, baik tinggi ataupun rendahan. Dampaknya, ketidakbahagiaan kolektif akibat perilaku korupsi dirasakan rakyat, terutama yg tinggal di wilayah perkotaan, sebab warga di pedesaan tidak mengikuti perkembangan berita sehingga tidak begitu terpengaruh secara langsung. Di sisi lain, kelemahan birokrasi, terutama dalam hal pengawasan, menjadi penyebab gagalnya pemberantasan korupsi, karena itu, kuncinya ada pada sang pemimpin. jakob juga menyatakan, Korupsi adalah dampak dari budaya instant dan pragmatisme yang mendera bangsa kita saat ini.
Perilaku korupsi, sejatinya berdampak sistemik, yang secara tidak langsung berpengaruh pada kebahagiaan warga Negara sebuah bangsa. Di negara-negara yang relatif bebas korupsi, ketimpangan ekonomi cenderung rendah karena warga memiliki kesempatan sama untuk mendapat manfaat pembangunan. Korupsi juga membuat pelayanan publik menjadi buruk, yg membuat warga kelas menengah ke bawah, mendapat pelayanan buruk, sehingga menjadi tidak bahagia. Untuk itu, budaya korupsi harus dilawan, mulai dari tingkatan terbawah, yaitu di tiap individu anak bangsa. Harus ada tekad bersama dan solidaritas, bahwa rakyat menjadi bagian dari korban korupsi, sehingga korupsi harus menjadi musuh bersama. (Doni Asyhar)