Semarang, Idola 92.6 FM – Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, adalah salah satu tujuan negara yang diamanatkan dalam UUD 1945. Namun, di usia kemerdekaan ke-71 Indonesia, kesejahteraan masyarakat dinilai masih belum bisa merata dan pengangguran masih banyak. Bahkan, kesenjangan seolah terjadi kian menganga antara yang miskin dan yang berpunya. Secara umum belum tercipta makmur yang berkeadilan dan adil yang berkemakmuran.
Pada ulang tahun kemerdekaan ke-71 ini, satu pertanyaan penting yang patut dikemukakan adalah apa yang sudah dicapai bangsa ini dari bidang ekonomi sebagai salah satu penopang kemakmuran bangsa. Selanjutnya, tantangan apa saja yang patut diperhatikan di masa depan. Pada bidang perekonomian, kemajuan demi kemajuan telah dilalui, tetapi tantangan berat masih menanti. Agenda pokoknya, bagaimana perekonomian kita bisa keluar dari jebakan eksternal, pola pertumbuhan rendah, serta risiko ketidakpastian global yang terus meningkat?
Merujuk pada harian Kompas (18/8), ekonom di Unika Indonesia Atmajaya, A Prasetyantoko dalam Opini berjudul Memaknai Kemerdekaan Ekonomi, menyatakan, presiden Joko Widodo mengusung Nawacita yang berisi prinsip kemandirian bangsa, baik di bidang politik, ekonomi, maupun kebudayaan. Kesembilan agenda kerja Presiden tersebut sejatinya tak bisa dipisahkan karena merupakan satu kesatuan yang utuh. Selain turunan programnya yang terkadang kabur, keutuhannya juga sering luput dari perhatian. Ada kaitan lugas antara kualitas manusia, produktivitas serta kemandirian dan daya saing bangsa. Ketiganya saling menopang satu sama lain. Dan jika diupayakan simultan, dipastikan akan mengungkit kemajuan bangsa secara signifikan.
Menurut Prasetyantoko, di antara berbagai kriteria pencapaian kemajuan, salah satu yang patut diperhatikan adalah ukuran daya saing. Rilis tahunan World Competitiveness Report 2016 terbitan Forum Ekonomi Dunia menempatkan Indonesia pada posisi ke-37 dari 140 negara yang disurvei. Dibandingkan tahun sebelumnya (posisi ke-34), tahun ini kita mengalami penurunan peringkat. Dalam hal apa kita merosot? Pilar persyaratan dasar (basic requirement) mengalami penurunan cukup besar dari peringkat ke-46 pada 2015 menjadi peringkat ke-49 tahun ini. Di antara pilar persyaratan dasar, variabel yang paling banyak merosot adalah kesehatan dan pendidikan dasar, dari peringkat ke-74 menjadi peringkat ke-80. Padahal, jika dilihat lebih rinci, justru ada beberapa perbaikan yang dilakukan. Karena sifatnya peringkat global, bisa disimpulkan bahwa bangsa lain lebih progresif.
Sementara itu, presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraannya di hadapan DPR dan DPD Selasa (16/8) lalu juga kerapkali menyinggung soal perbaikan ekonomi. Hal ini menandakan pidato Presiden tak jauh berbeda dari tahun sebelumnya yang lebih banyak menekankan pada kata ekonomi. Diksi ‘ekonomi’ memang hanya 16 kali disebut dalam pidato Jokowi. Namun, penyebutan diksi terkait perekonomian, fiskal, belanja, anggaran, bahkan harga dan pasar sebetulnya menempati jumlah yang banyak pula. Berbagai aspek perekonomian regional bahkan global, seperti pelambatan ekonomi, bahkan menjadi perhatian besar dalam pidato ini.
Lantas, refleksi 71 HUT RI dan memaknai kemerdekaan ekonomi bangsa, di usia 71 tahun kemerdekaan RI, sudah berdaulatkah ekonomi kita? Sudahkah mampu mewujudkan adil yang berkemakmuran dan makmur yang berkeadilan? Membicarakan tema ini, Radio Idola 92.6 FM mewawancara Enny Sri Hartati-Direktur Eksekutif Institute for development of Economics and finance (INDEF) dan Anton J. Supit-Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). (Heri CS)