Semarang, Idola 92.6 FM – Awal Agustus 2016, polisi menangkap enam terduga teroris anggota Katibah Rebus di Batam Kepulauan Riau. Menurut Kapolri Tito Karnavian, terduga teroris merencanakan aksi teror ke Singapura. Kelompok itu menggunakan jalur siber untuk direkrut dan merekrut, mengakses materi-materi pelatihan hingga merencanakan aksi.
Dunia siber telah menjadi domain baru gerakan teroris. Pemetaan jaringan teroris tidak lagi selalu harus berkaitan dengan kelompok besar seperti Al Qaeda atau ISIS. Ada kelompok-kelompok, bahkan individual yang sama radikal dan berbahayanya yang tercipta hanya lewat interaksi di media sosial.
Tindakan remaja 17 tahun yang akan meledakkan bom di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Medan, Sumatera Utara, Minggu lalu juga ditengarai dipicu oleh video ISIS yang ditontonnya terutama mengenai serangan teros ISIS di Paris November 2015.
Dalam pertemuan Regional Risk Assessment on Terrorism Financing 2016 South East Asia and Australia di Bali, pertengahan Agustus lalu, disebutkan bahwa Indonesia masuk dalam kategori sangat terancam.
Saat ini, diperkirakan sekita 568 orang Indonesia yang pergi ke Suriah dan Irak untuk bergabung dengan ISIS. Sebanyak 183 orang di antaranya telah kembali. Angka ini adalah yang tertinggi dibandingkan dengan Malaysia dengan 73 orang dan Australia 110 orang yang telah berangkat ke Suriah dan Irak.
Pihak berwajib telah mendeteksi ada 11 kelompok teroris aktif di Indonesia saat ini.
Lantas, apa yang mesti dilakukan pemerintah dan segenap elemen bangsa, untuk menangkal anyaman nyata dari dunia maya terkait radikalisme di kalangan remaja?
Anak Usia Muda Sasaran Tebar Paham Terorisme
Pengamat terorisme Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Wawan Purwanto menyatakan, radikalisme saat ini menjadi ancaman nyata terutama bagi kalangan anak muda melalui media sosial. Sebab, kelompok terorisme memang menjadikan remaja dan anak muda sebagai sasaran.
“Mungkin ada 4.800 situs yang bisa mempengaruhi anak muda untuk melakukan tindakan terorisme. Mereka cenderung mengikuti dan menelan mentah-mentah apa yang dilihatnya tanpa menelaah lagi,” tukasnya dalam Panggung Civil Society Radio Idola, Kamis (1/9).
Menurut Wawan, semua upaya penanggulangan terorisme sebetulnya sudah dilakukan oleh pemerintah. Namun, memang kita tidak bisa menghentikan keyakinan orang lain 100 persen.
Dia menyatakan, salah satu upaya yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah patroli rutin di dunia maya. Ketika menemukan blog yang mengandung materi radikalisme, maka pemerintah segera meluruskannya.
“Memang kita harus mempertajam reprentif. Ini menjadi tugas utama kita, teman, keluarga untuk intens melakukan upaya-upaya. Psikolog juga harus terlibat, karena mereka bisa memberikan pemahaman-pemahaman dari sisi bidangnya,” kata Wawan.
Lebih jauh, dia menyebut, BNPT selama ini sudah menggandeng semua kalangan untuk memerangi terorisme baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Pemerintah Perlu Tegas Menindak Paham Radikal Di Media Sosial
Sementara itu, Solichul Huda, Pakar IT Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) menyatakan, sebagai upaya penanggulangan terorisme melalui dunia maya semestinya pemerintah melakukan tindakan tegas dengan koordinasi antara kepolisian, kejaksaan dan kehakiman.
“Sebetulnya undang-undang ITE itu jelas, yang menggarisbawahi tindakan kejahatan elektronik, namun tidak ada tindakan tegas” ujarnya.
Menurut Solichul Huda, saat ini banyak ditemukan blog-blog atau web yang memang mengajarkan ajaran-ajaran radikal. Dia sepakat untuk mendukung BNPT yang beberapa waktu lalu telah meminta kemenkominfo memblokir blog-blog yang bermuatan radikalisme.
“Tidak apa-apa untuk memblokir, jadi blog yang diduga mengunsur tidakan radikal bisa langsung di tutup. Ketika si pemilik blog mengkonvirmasi, maka blog baru bisa dibuka kembali,” terangnya.
Solichul Huda mengungkapkan, lingkungan, keluarga, dan sekolah menjadi sarana penting untuk mengedukasi masyarakat perihal ancaman radikalisme.
Radikalisme kini telah menjadi ancaman nyata bagi Indonesia. Melalui media social kelompok terorisme global seolah menyasar kalangan remaja.
Hal ini terbukti dengan insiden tindakan remaja 17 tahun yang akan meledakkan bom di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Medan, Sumatera Utara, Minggu lalu.
Aksi remaja tersebut ditengarai dipicu video ISIS yang dia tonton terutama mengenai serangan teros ISIS di Paris November 2015. Menangkal ancaman radikalisme, lingkungan, keluarga, dan sekolah menjadi menjadi benteng penting untuk mengedukasi masyarakat.
Dan, masyarakat berharap, pemerintah serius melakukan aksi nyata upaya penanggulangan radikalisme baik preventif, kuratif, hingga melalui ketegasan dalam penegakan hukum. (Heri CS/Diaz A)