Semarang, Idola 92.6 FM – 17 persen lahan di Provinsi Jawa Tengah dalam kondisi kritis. Beberapa faktor yang menyebabkan kondisi demikian adalah perilaku korporasi dan individu. 58 persen pencemaran lingkungan disebabkan oleh perilaku individu seperti membuang sampah hingga emisi kendaraan yang menyebabkan pemanasan global. Sementara kerusakan lingkungan lainnya disebabkan oleh korporasi yang tidak menaati Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).
Demikian dikatakan oleh Wakil Ketua Komisi D DPRD Jawa Tengah Hadi Santoso dalam acara Semarang Trending Topic-Diskusi Membangun Jawa Tengah dengan topik “Pembangunan Berkelanjutan; Bagaimana Jawa Tengah Dalam Merespons Perubahan Iklim?” oleh Radio Idola, di Hotel Grand Edge Semarang, Rabu (30/11/16).
Hadi menjelaskan, setiap daerah memiliki Perda RTRW yang seharusnya dijadikan sebagai payung untuk rencana pembangunan secara berkelanjutan yang memperhatikan lingkungan. Apalagi, lanjutnya Jawa Tengah kebanjiran proyek nasional yang bakal membabat habis lahan terbuka hijau.
“Jawa Tengah kebanjiran proyek nasional dengan tujuh waduk besar, belum lagi proyek Tol Trans Jawa. Tentu implikasinya ada perubahan tata ruang wilayah. Pemda tidak seharusnya asal menggaet investor untuk membangun pabrik tanpa RTRW yang jelas. ” ujarnya.
Menurutnya, sebagai legislatif selalu melakukan intervensi terhadap pembangunan yang berpengaruh pada lingkungan. Dicontohkan, menjamurnya pembangunan pabrik semen mulai dari Tuban, Jawa Timur hingga Grobogan, Jawa Tengah dan beberapa daerah lainnya tidak terarah jelas. Maka pihaknya melakukan intervensi ke setiap daerah dalam melakukan upaya berkesinambungan penyelamatan lingkungan.
Khusus pembangunan Tol Trans Jawa yang digagas Presiden Joko Widodo diharapkan tidak ada kesalahan pembuatan Detail Enginering Design (DED) dimasing-masing daerah. Sehingga perlu melibatkan pemda dan pemprov.
Hadi yang juga sebagai Sekretaris Kaukus Lingkungan Jawa Tengah menjelaskan, kesalahan yang dimaksud adalah karena kekhawatiran akan dampak lingkungan. Misal, terputusnya daerah aliran sungai (DAS) yang terpotong oleh jalur panjang proyek Tol Trans Jawa. Dengan demikian tentu RTRW harus digarap sematang mungkin.
“Misalnya, saat ini DED Tol Batang-Semarang menggunakan satu rancangan DED. Namun tentu pemecahan tersendiri di setiap daerah karena memiliki lingkungan yang berbeda,” sambungnya.
Pembangunan Yang berkelanjutan Adalah Yang Terintegrasi
Senada, Pakar Pengairan dan Lingkungan Hidup dari Universitas Diponegoro Semarang Dr Ir Nelwan Dipl HE mengatakan pembangunan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya dan perlu RTRW yang baik. Dengan kata lain begitu diperlukan integrasi antara satu fungsi pembangunan dan lainnya seperti contoh kecil ialah pedestrian dan alat atau fasilitas transportasi.
Kemudian terkait persoalan lingkungan, ia mencontohkan bahwa pembangunan waduk secara besar-besaran tidak sepenuhnya menjadi solusi. Dari penelitian yang dilakukannya antara tahun 1985-1986 di Waduk Kreo Semarang (saat ini Waduk Jatibarang) dan beberapa waduk kecil hasilnya tidak ada yang visible.
“Kami lakukan studi dengan Walikota Semarang saat itu, hasilnya tidak ada yang visible. Karena merusak lingkungan. Geologinya juga membahayakan. Banyak hewan yang akan kehilangan wilayahnya yang berubah waduk” urai Nelwan.
Hasilnya, lanjut Nelwan, saat itu waduk tidak jadi dibangun. Namun ia menyayangkan saat ini dengan berganti pemipin waduk telah dibangun. Padahal, menurutnya, standar secara internasional pembangunan waduk tidak boleh didalam area 30 kilometer dari pusat kota.
Solusi untuk mengatasi persoalan lingkungan ini, kata Nelwan adalah dengan membangun waduk hijau. Yaitu penghijauan kembali wilayah resapan air. Hal itu akan lebih efektif. Misalnya Kawasan Dataran Tinggi (KWDT) Dieng yang gundul beralih fungsi menjadi kebon kentang alangkah perlunya dihijaukan kembali dengan menanam pohon, karena daerah tersebut sudah kritis.
“Selain itu, pemerintah dalam membuat regulasi harus digodok sematang-matangnya. Pemerintah daerah terutama perlu menggandeng banyak pihak mengenai dampak lingkungan dan sosial tentang pembangunan. Akademisi dan masyarakat menunggu,” sampainya.
Sinergi Pemda Dan Pengusaha
Kepala Dinas Bina Marga Semarang Iswar Aminudin menambahkan, kedepan mental pegawai pemerintaham dan pengusaha harus dibenahi lagi.
“Pengusaha jangan asal investasi saja di Jawa Tengah tanpa bersinergi dengan pemerintah daerah memperhatikan lingkungan dengan payung Perda RTRW. Perlu keterpaduan pengusaha dan pemda, kami tidak menutup mata masih ada kelemahan,” tukasnya.
Menanggapi tema Pembangunan Berkelanjutan, Bagaimana Jawa Tengah Dalam Merespons Perubahan Iklim?, ia mengungkapkan Kota Semarang relatif aman bila dibandingkan kota besar lainnya yang terdampak bencana alam seperti banjir bandang di Bandung belum lama ini.
Hanya saja diakuinya, pemecahan permasalahan rob di Jalur pantai utara (pantura) masih belum maksimal karena perlu DED yang tepat berkesinambungan untuk penanganan problem yang melanda Jl Daendles sebagai urat nadi perekonomian pulau Jawa tersebut.
Sekda Kab Kendal, Bambang Dwiyono menguraikan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak bisa menitikberatkan satu pihak eksekutiv untuk perencanaan. Sinergi banyak pihak dari investor, pemda dan masyarakat mempengaruhi pembangunan Jawa Tengah yang berkelanjutan.
“Disisi pejabat pemerintahan, iming-iming uang dari pengusaha hampir bisa dipastikan mempengaruhi kebijakan pemda terkait pembangunan. Faktor ketidakjujuran ini masih jadi poin yang mempengaruhi pembangunan berkelanjutan yang taat perda RTRW” ucapnya. (Diaz A)