Mengantisipasi Kebijakan Ekonomi Donald Trump

Semarang, Idola 92.6 FM – Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat pada pemilihan umum 8 November lalu diperkirakan menyebabkan perubahan drastis pada kebijakan ekonomi negeri ini. Untuk itu, pemerintah dinilai perlu melakukan langkah-langkah antisipatif khususnya di bidang perekonomian.

Merujuk Kompas (10/11) lalu, pada penutupan perdagangan Selasa (8/11), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 56,36 poin atau 1,03 persen menjadi 5.414. Indeks sempat menguat pada awal pembukaan, lalu melemah 2,3 persen. Investor asing melepaskan saham senilai Rp 56 miliar. Sementara kurs rupiah di pasar tunai ditutup melemah 0,33 persen menjadi Rp 13.127 per dollar AS. Menurut kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, 1 dollar AS setara dengan Rp 13.084. Bursa dan mata uang di kawasan Asia dan Eropa juga melemah dalam merespons hasil pemilu tersebut.

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, BI terus memantau perkembangan pemilu di Amerika Serikat. Pasar keuangan Indonesia khususnya pasar valuta asing, relatif stabil. Kondisi tersebut menjadi cerminan bahwa tingkat kepercayaan para pelaku usaha mulai pulih terhadap situasi perekonomian nasional. Sementara itu, pengajar di Universitas Trisakti Jakarta, Pri Agung Rakhmanto mengatakan, kewenangan Trump memicu ketidakpastian di pasar minyak. Kebijakan Partai Republik sebagai pendukung Trump yang pro minyak diperkirakan menyebabkan pasokan melimpah. Dari sisi permintaan, ketidakpastian yang muncul menyebabkan pembelian minyak tertahan.

Lantas, mengantisipasi dampak terpilihnya Donald Trump pada bidang perekonomian, langkah antisipasi apa yang mesti disiapkan pemerintah Indonesia? Apa pula yang mesti dilakukan pemerintah jika Amerika Serikat mengubah kebijakan perekonomian lebih protektif? Cukup kuatkah, perekonomian kita membentengi Trump effect?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola 92.6 FM berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Eric Alexander Sugandi, Pengamat Ekonomi Kenta Institute dan Lana Soelistianingsih, Ekonom Samuel Asset Management. (Heri CS)

Ikuti Kami di Google News