Lebih jauh, berbagai penghargaan didapat Desa Tlogoweru karena keberhasilan desa meningkatkan hasil pertanian dengan memenfaatkan burung hantu Tytpo Alba. Penghargaan sebagai desa ketahanan pangan, kalpataru dan banyak lainnya disematkan, baik untuk kepala desa atau pun kelompok tani dengan berbagai kategori.
Dikatakan Pujo Arto, berbagai instansi baik dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), akademisi, peneliti atau pihak dari luar daerah yang ingin belajar pengembangan Tyto Alba pun datang meneliti keberhasilan penangkaran Tyto Alba. Kabupaten Klaten, Jawa Tengah dan Tabanan Bali misalnya, pernah belajar pengembangan Tyto Alba dari Tlogoweru. Namun, Keberhasilan ini tidak membuat Pujo Arto berhenti meneliti dan mengembangkan Tyto Alba. Dia tetap rutin meneliti mengecek Tyto Alba di rubuha.
Pujo Arto menyarankan agar semua petani terutama di wilayah sekitar Tlogoweru menerapkan hal yang sama yaitu menangkarkan Tyto Alba. Dia juga menyarankan agar masyarakat tidak mengganggu populasi Tyto Alba dengan menembak, ataupun menjeratnya. Petani yang masih menggunakan setrum untuk membunuh tikus juga diharapkan beralih ke pengembangan Tyto Alba. Caranya mudah, kata Pujo Aarto hanya dengan mendirikan pagupon atau rumah burung hantu (rubuha) setinggi 4 meter saja, maka Tyto Alba akan dengan sendirinya menempati rubuha yang sudah dibangun.
Penangkaran Tyto Alba Desa Tlogoweru sudah terbukti berhasil dalam meningkatkan hasil pertanian dengan memberantas hama tikus, meskipun keberhasilan panen tidak serta merta karena faktor pemberantasan tikus saja. Akan tetapi tentu dengan factor lainnya yang turut mempengaruhi seperti membasmi hama wereng, factor pupuk dan irigasi.
Tidak hanya Tyto Alba. Desa Tlogoweru juga menanam rumput yang disebut rumput gajah yang berdaun seperti tebu. Rumput gajah ditanam sepanjang tanggul-tanggul sungai desa. Nyatanya rumput itu bermanfaat untuk pakan ternak. Ini bentuk pemberdayaan masyarakat untuk peternakan.
Warga pun banyak menernak Sapi atau kambing. Kata Pujo Arto pertanian dan peternakan merupakan keseimbangan yang saling berhubungan antara satu dan lainnya. “Setelah dari sawah, petani pulang mengambil rumput, rumput itu untuk sapi mereka. Jadi ini saling terhubung, tentu penghasilan masyarakat tidak hanya dari bertani saja. Kemudian sapi itu menghasilkan kotoran, kotoran itu digunakan untuk pupuk juga,” katanya.
Desa Tlogoweru mendapat bantuan dua saptic tank pengelolaan kotoran sapi menjadi bio gas untuk disalurkan ke rumah warga namun belum banyak. Menurut Pujo Arto, akan ada tambahan bantuan lagi untuk masyarakat yang memiliki sapi di kandang dengan jumlah minimal enam ekor sapi. Bantuan itu berasal dari Kantor Lingkungan Hidup (KLH). (Diaz A/Heri CS)