Tuhan memberi mata pada manusia untuk bisa menikmati indahnya warna warni dunia. Tapi, bagaimana jika mata, sumber penglihatan manusia itu tidak ada. Pastilah yang ada hanya kegelapan dan keputus asaan. Tapi, tidak bagi basuki, warga Jatisari, Mijen, Kota Semarang.
Meski seorang tuna netra, baginya kegelapan bukan akhir dari segalanya. Basuki lahir dengan penglihatan normal, sampai di usia 30 tahun, dunia bagai kaimat baginya, saat syaraf retina matanya lepas dan mengakibatkan kebutaan. Bersama orang orang tercinta, Basuki bangkit.
“Saya beruntung mempunyai orang orang terdekat yang mendukung saya untuk bangkit, mengubah hambatan jadi peluang,” tutur Basuki dengan penuh optimistis.
Setelah kehilangan penglihatannya, pada tahun 2006, Basuki mendirikan komunitas Sahabat Mata. Di sini dia ingin memberdayakan sesama tuna netra.Melalui ketrampilannya di bidang komputer, Basuki memberi bekal pada mereka agar bisa tumbuh rasa percaya diri dan mengembangkan potensinya.
“Keahlian saya di bidang Komputer saya kembangkan untuk menumbuhkan kepercayaan diri sesama tunanetra,“ tutur Basuki.
Basuki bukan hanya mendapat dukungan, tapi juga cibiran dari orang orang yg menganggapnya menyalahi kodrat sebagai tuna netra. Tapi Basuki menganggap itu sebagai tantangan untuk bisa membuktikan, tidak dengan kata kata, tapi dengan perbuatan, bahwa tuna netra juga bisa berkarya dan bermanfaat bagi sesama.
“Karena sebetulnya, semua manusia adalah sama, baik yang tuna netra atau yang awas,“ tegas Basuki.
Garam tidak akan menjadi garam, jika tidak mengasinkan yg hambar. Kapal tidak akan berfungsi sebagai kapal, jika hanya berlabuh di dermaga. Lilin tidak akan menjadi sebuah lilin, jika tidak dinyalakan dan menerangi yang gulita. Basuki, sang tuna netra, telah membuktikan bahwa dia mampu menerangi hidupnya dan bahkan hidup sesamanya, dalam dunianya yang gulita. (Doni Asyhar)